Tahun Baru Masehi, Sejarah dan Hukum Merayakannya
Hari berganti,
Minggu,
Bulan …..
TAK terasa waktu terus berlalu dan kita sampai di penghujung
tahun. Dalam beberapa detik ke depan, tahun 2014 akan segera berganti, dan
tahun 2015 akan menjelang. Ini tahun baru Masehi, tentu saja, karena tahun baru
Hijriyah telah terjadi beberapa pekan yang lalu.
Malam pergantian tahun baru masehi
sangat ditunggu-tunggu oleh semua kalangan. Tidak saja dibelahan bumi lain
seperti di Eropa dan Amerika, masyarakat kita juga sibuk dan sangat
menanti-nantikan malam pergantian tahun tersebut.
Berbeda halnya dengan pergantian
tahun baru hijriah, banyak masyarakat yang tidak merayakannya, bahkan sekadar
tahu saja mereka mungkin tidak.
Memang perayaan tahun baru hijriah tidak dituntut untuk merayakannya dengan menyalakan kembang api, meniup terompet, ataupun kumpul di pusat kota dengan tujuan yang tidak jelas. Tetapi lebih kepada bagaimana memaknainya.
Memang perayaan tahun baru hijriah tidak dituntut untuk merayakannya dengan menyalakan kembang api, meniup terompet, ataupun kumpul di pusat kota dengan tujuan yang tidak jelas. Tetapi lebih kepada bagaimana memaknainya.
Melihat fenomena tersebut, penulis
merasa tergugah untuk sedikit mengupas sejarah dan pandangan Islam terhadap
tahun baru masehi.
Sejarah Tahun Masehi
|
Sejak Abad ke-7 SM bangsa Romawi
kuno telah memiliki kalender tradisional. Namun kalender ini sangat kacau dan
mengalami beberapa kali perubahan. Sistem kalendar ini dibuat berdasarkan
pengamatan terhadap munculnya bulan dan matahari, dan menempatkan bulan Martius
(Maret) sebagai awal tahunnya.
Pada tahun 45 SM Kaisar Julius
Caesar mengganti kalender tradisional ini dengan Kalender Julian. Urutan bulan
menjadi: 1) Januarius, 2) Februarius, 3) Martius, 4) Aprilis, 5) Maius, 6)
Iunius, 7) Quintilis, 8) Sextilis, 9) September, 10) October, 11) November, 12)
December. Di tahun 44 SM, Julius Caesar mengubah nama bulan “Quintilis” dengan
namanya, yaitu “Julius” (Juli).
Sementara pengganti Julius Caesar,
yaitu Kaisar Augustus, mengganti nama bulan “Sextilis” dengan nama bulan
“Agustus”. Sehingga setelah Junius, masuk Julius, kemudian Agustus. Kalender
Julian ini kemudian digunakan secara resmi di seluruh Eropa hingga tahun 1582 M
ketika muncul Kalender Gregorian.
Januarius (Januari) dipilih sebagai
bulan pertama, karena dua alasan. Pertama, diambil dari nama dewa Romawi “Janus”
yaitu dewa bermuka dua ini, satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi
menghadap ke belakang. Dewa Janus adalah dewa penjaga gerbang Olympus. Sehingga
diartikan sebagai gerbang menuju tahun yang baru.
Kedua, karena 1 Januari jatuh pada
puncak musim dingin. Di saat itu biasanya pemilihan konsul diadakan, karena
semua aktivitas umumnya libur. Di bulan Februari konsul yang terpilih dapat
diberkati dalam upacara menyambut musim semi yang artinya menyambut hal yang
baru. Sejak saat itu Tahun Baru orang Romawi tidak lagi dirayakan pada 1 Maret,
tapi pada 1 Januari. Tahun Baru 1 Januari pertama kali dirayakan pada tanggal 1
Januari 45 SM.
Orang Romawi merayakan Tahun Baru
dengan cara saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci. Belakangan, mereka
saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Dewa Janus. Mereka
juga mempersembahkan hadiah kepada kaisar.
Perayaan Tahun Baru
Saat ini, tahun baru 1 Januari telah
dijadikan sebagai salah satu hari suci umat Kristiani. Namun kenyataannya,
tahun baru sudah lama menjadi tradisi sekuler yang menjadikannya sebagai hari
libur umum nasional untuk semua warga Dunia.
Pada mulanya perayaan ini dirayakan
baik oleh orang Yahudi yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September.
Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada tanggal 1
Januari. Paus Gregorius XIII mengubahnya menjadi 1 Januari pada tahun 1582 dan
hingga kini seluruh dunia merayakannya pada tanggal tersebut.
Bagi orang Kristiani yang mayoritas menghuni belahan benua Eropa, tahun baru masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa al-Masih, sehingga agama Kristen sering disebut agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir pun disebut tahun Sebelum Masehi (SM) dan sesudah Yesus lahir disebut tahun Masehi.
Bagi orang Kristiani yang mayoritas menghuni belahan benua Eropa, tahun baru masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa al-Masih, sehingga agama Kristen sering disebut agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir pun disebut tahun Sebelum Masehi (SM) dan sesudah Yesus lahir disebut tahun Masehi.
Pandangan Islam
Firman Allah SWT dalam surah al-Furqan ayat 72, yang artinya:
“Dan orang-orang yang tidak
memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang)
yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja)
dengan menjaga kehormatan dirinya.”
Dalam ayat tersebut terdapat kata
“al-Zur” (perbuatan-perbuatan yang tidak berfaidah). Menurut Ulama Tafsir,
maksud al-Zur adalah perayaan-perayaan orang kafir (Ibn Kasir, 6/130). Jelas
dari pada ayat ini Allah melarang kaum muslimin menghadiri perayaan kaum
muyrikin.
Hadis Sahih al-Bukhari dan Muslim berikut ini, sabda Rasulullah SAW yang artinya:
“Sesungguhnya bagi setiap kaum
(agama) ada perayaannya dan hari ini (Idul adha) adalah perayaan kita”. Oleh
Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan maksud hadis tersebut bahwa dilarang
melahirkan rasa gembira pada perayaan kaum musyrikin dan meniru mereka (dalam
perayaan). (Fathul Bari, 3/371).
Dalam adat masyarakat Aceh yang
identik dengan nilai-nilai Islam, dulu hanya merayakan peringatan hari besar
Islam saja seperti perayaan maulid dan tahun baru hijriah yang malamnya dihiasi
dan dihidupkan dengan dalail khairat di balee dan meunasah.
Melihat sejarah, pandangan Islam
serta adat Islami dalam masyarakat Aceh, tidak ada celah sedikit pun bagi umat
Islam untuk ikut merayakan atau sekadar untuk mengucapkan “happy new years”.
Pada kenyataannya, pada malam tahun baru dihiasi dengan berbagai hiburan yang menarik dan sayang untuk dilewatkan. Muda-mudi tumpah ruah di jalanan, berkumpul di pusat kota menunggu pukul 00.00, yang seolah-olah dalam pandangan sebagian orang “haram” untuk dilewatkan.
Pada kenyataannya, pada malam tahun baru dihiasi dengan berbagai hiburan yang menarik dan sayang untuk dilewatkan. Muda-mudi tumpah ruah di jalanan, berkumpul di pusat kota menunggu pukul 00.00, yang seolah-olah dalam pandangan sebagian orang “haram” untuk dilewatkan.
Pada saat lonceng tengah malam
berbunyi, sirene dibunyikan, kembang api diledakkan dan orang-orang menerikkan
“Selamat Tahun Baru”. Di negara-negara lain, termasuk Indonesia? Sama saja!
Shahabat Abdullah bin ’Amr RA
memperingatkan dalam Sunan Al-Baihaqi IX/234:
”Barangsiapa yang membangun negeri orang-orang kafir,
meramaikan peringatan hari raya Nairuz (tahun baru) dan karnaval mereka serta
menyerupai mereka sampai meninggal dunia dalam keadaan demikian. Ia akan
dibangkitkan bersama mereka di hari kiamat.”
Bagi orang Islam, merayakan tahun
baru Masehi bukanlah hal yang dianjurkan apalagi diwajibkan, Sementara beberapa
waktu yang lalu, kita semua sudah melewati tahun baru Muharram, dengan sepi
tanpa gemuruh apapun.
Katib Syuriyah PCNU Jember Dr. MN. Harisudin mengharamkan
perayaan tahun baru yang diisi dengan kegiatan yang berbau maksiat. Misalnya
minum-minuman keras, ikhtilath (pergaulan) antara laki-laki dan perempuan buan
muhrim, pacaran, dan kegiatan maksiat yang lain.
Menurut pengasuh Ponpes Darul Hikam Jember ini, pada dasarnya hukum merayakan tahun baru masehi ini adalah boleh. Hanya saja, ketika berkaitan dengan perbuatan maksiat, maka hukumnya menjadi haram.
“Dalam bahasa fiqih, ini disebut dengan haram lidzatihi. Haram karena faktor eksternal. Faktor eksternalnya ya itu, pacaran, minuman keras, ada ikhtilath laki-laki dan perempuan,” pungkas kiai muda NU yang juga Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember ini.
Oleh karena itu, menurut kiai yang juga aktif menjadi pembicara di berbagai majlis ta’lim ini, ia menganjurkan agar muda-mudi khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya untuk merayakan tahun baru ini dengan kegiatan-kegiatan positif. Misalnya kegiatan diskusi agama, refleksi akhir tahun, santunan anak yatim, atau kegiatan positif yang lain. (Anwari/Mahbib/http://www.nu.or.id/lang,id-.phpx)
Menurut pengasuh Ponpes Darul Hikam Jember ini, pada dasarnya hukum merayakan tahun baru masehi ini adalah boleh. Hanya saja, ketika berkaitan dengan perbuatan maksiat, maka hukumnya menjadi haram.
“Dalam bahasa fiqih, ini disebut dengan haram lidzatihi. Haram karena faktor eksternal. Faktor eksternalnya ya itu, pacaran, minuman keras, ada ikhtilath laki-laki dan perempuan,” pungkas kiai muda NU yang juga Dosen Pasca Sarjana IAIN Jember ini.
Oleh karena itu, menurut kiai yang juga aktif menjadi pembicara di berbagai majlis ta’lim ini, ia menganjurkan agar muda-mudi khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya untuk merayakan tahun baru ini dengan kegiatan-kegiatan positif. Misalnya kegiatan diskusi agama, refleksi akhir tahun, santunan anak yatim, atau kegiatan positif yang lain. (Anwari/Mahbib/http://www.nu.or.id/lang,id-.phpx)
Demikian artikel
ini penulis sajikan, bukan sebagai provokasi terhadap kepentingan apapun,
tetapi hanya sebagai pandangan tenteng realita antara tahun baru masehi dan
tahun baru hijriyah, mohon maaf terhadap semua pihak dan terima kasih atas
perhatiannya, semoga artikel ini bermanfaat, amin.
Wallahu a'lam
No comments:
Post a Comment